NASI BUNGKUS PRESIDEN
Cerpen Abank Juki
(Cikarang, Minggu, 8 April 2012, 05.00 WIB)
Sore itu ku berjalan susuri barisan gerbong kereta tua yang sudah
pensiun. Ketika aku berada di samping salah satu gerbong kereta tua
dengan jendela yang sudah retak, tiba-tiba terdengar sebuah suara
menyayat hati.
“Bu… lapar….”
Kupertajam indera dengarku.
“Bu, pengen makan….”
“Iya nak, ibu tahu kau lapar. Tapi, ibu tak punya apa-apa. Tunggu bapak ya….”
“Bu… aku lapar.”
“Iya nak, ibu tahu. Tunggu bapakmu.”
Aku tak berdaya mendengarnya. Kuingin membantu, tapi… nasibku serupa.
Sudah sejak pagi tadi perutku hampa. Hanya air mineral yang bisa
kuteguk. Itupun hanya setengah botol yang tersisa. Beruntung kutemukan
botol air itu di kursi gerbong paling ujung. Tak biasanya aku kehabisan
barang penumpang yang tertinggal.
“Bu, lapar….”
“Iyaaaa… nak… tunggu bapakmu.”
Tiba-tiba kulihat di kejauhan tampak seorang tua berjalan agak gontai. Dia menghampiri sumber suara yang kudengar tadi.
“Nak, Tuhan mendengarmu. Bapakmu sudah datang. Semoga ia membawa makanan.”
“Bu, bapak pulang.”
“Bapak… Ara lapar, mau makan.”
“Iya, nak, bapak juga dengar suaramu. Beruntung kita hari ini karena
presiden kita mau menaikkan harga BBM. Semoga terus setiap hari berita
itu muncul.”
“Pak, Ara lapar. Ara gak ngerti BBM. Ara mau makan.”
“Iya, nak. Bapak tahu. Bapak bawa makanan. Tapi, kamu harus bilang makasih.”
“Iya pak, makasih.”
“Bukan ke bapak nak, tapi ke presiden kita.”
“Emang makanan ini dari presiden ya pak?”
“Iya nak, karena presiden mau menaikkan BBM, hari ini bapak dapat makanan.”
“Pak presiden yang ngasih nasi bungkus ini pak? Bapak tadi ketemu
presiden ya? Bapak hebat. Ara mau ketemu presiden pak. Ara mau bilang
makasih ke presiden. Bapak antarkan Ara Ya….”
“Sudah, kamu makan dulu sana…. Habiskan ya nak.”
Sesaat ku terdiam. Kurenungkan dialog bpk dan anak itu. Presiden mmberi
nasi bungkus? Kpd bapak tua yang tinggal di gerbong? Telingaku
terganggukah? Bermimpikah aku? Atau memang benar sang presiden sebaik
itu??
Alangkah baiknya sang presiden. Sungguh seorang pemimpin yang peduli pada rakyatnya. Aku terharu.
Namun tiba-tiba secuil otakku berontak. Tidak, presiden tidak sebaik
itu. Kudengar tadi ada isu BBM akan dinaikkan. BBM naik. Bukankah hal
itu berat untuk rakyat?? Termasuk aku dan bapak itu sekeluarga akan
terkena dampaknya.
BBM naik. Presiden memberi nasi bungkus. Apa hubungannya???
Otakku yang kerdil ini tak sanggup temukan jawabannya. Aku linglung. Di
tengah kelinglunganku aku limbung. Aku tertidur dgn perut yang hanya
terisi air mineral setengah botol, yang tadi tertinggal.
Keesokan paginya ku terbangun. Seperti biasanya kususuri gerbong demi
gerbong brharap ada makanan/barang penumpang tertinggal. Hari ini aku
lebih beruntung. Kutemukan di salah satu gerbong, setengah roti sobek
ukuran sedang dn seperapat botol air mineral. Tuhan berbaik hati padaku.
Walau bukan presiden yang memberiku makan, aku bersyukur Tuhan masih
sayang padaku.
Hari ini perutku lebih terisi. Sepertinya utangku pada perutku kemarin
telah kulunasi. Kunikmati kebaikan Tuhan hari ini. Puas mengisi perut,
ku berjalan susuri barisan gerbong-gerbong tua yang sudah pensiun. Aku
di salah satu gerbong, sedang bapak tua yang mendapat nasi bungkus dari
presiden itu dan keluarganya di gerbong selanjutnya.
Masih penasaran dengan kisah mereka kemarin. Aku pun lalu kembali
mendekati mereka. Kucoba menguping untuk mendapatkan jawaban. Benarkah
sang presiden memberikan nasi bungkus kepada bapak tua itu? Lalu apa
hubungannya dengan BBM akan naik??
Dengan sabar kutunggu si bapak tua itu pulang. Lalu seperti hari-hari sebelumnya. Kudengar dialog dengan urutan yg sdh kuhapal.
“Bu, lapar… mau makan.”
“Iya nak, tunggu bapak pulang.”
Seperti sebelumnya pula, beberapa lama kemudian sang bapak tua pulang. Tentu saja membawa makanan untuk anaknya.
“Pak, lapar….”
“Iya nak, nih bapak bawa nasi bungkus lagi buat kamu. Ini dari presiden juga, nak.”
“Bapak ketemu pak presiden lagi?”
Sang bapak tua tak menjawab. Ia malah menjawab seperti tadi.
“Nasi ini dari presiden kita, nak.”
Lalu meminta anaknya makan.
“Sudah, makan dulu sana. Habiskan nasi dari pak presiden.”
Beberapa saat kemudian, sang ibu menarik bapak tua itu menjauh dari
anaknya. Kemudian ia berbisik. Sayup kudengar dialog mereka, sementara
si anak asik dengan makanannya.
“Bapak benar bertemu pak presiden? Benar bapak diberi nasi bungkus oleh presiden? Benar bapak…. Benar bapak….”
Rentetan pertanyaan berbisik itu meluncur deras dari mulut sang ibu. Seolah menumpahkan segudang rasa penasaran.
Hahahaha, ternyata rasa penasaranku tak kalah dengan sang ibu. Dalam hati kumerasa sebentar lagi penasaran itu ‘kan terjawab.
Dengan tenang sang bapak memegang kedua pundak sang ibu.
“Bu, kita ini siapa? Presiden kita siapa? Kita tinggal di gerbong tua,
beliau di istana. Dia tak mengenal kita bu, dia tak kenal bapak.
Lagipula ibu percaya bahwa presiden memberi nasi bungkus kepada rakyat
hina seperti kita??”
“Tapi pak…. Beberapa hari ini bapak bilang dapat nasi bungkus dari presiden.”
“Bu…, bapak sendiri takkan percaya seandainya hal itu benar.”
“Lalu pak…. Dari mana nasi bungkus itu?”
Rasa penasaranku semakin menjadi. Otakku mendidih, badanku bergetar menanti jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu.
“Bu, bapak beberapa hari ini mendekati lokasi demonstrasi. Mereka
katanya menolak kenaikan BBM. Bapak tidak tahu masalah BBM. Bapak juga
tak peduli. Siang-malam kita tidak berhubungan dengan BBM. Yang bapak
tahu, menurut teman-teman pemulung lainnya, di sana ada demonstrasi.
Mereka menolak BBM naik.
Kata mereka, setiap siang sekitar jam 12-an pendemo itu istirahat.
Mereka makan siang. Mereka bilang setiap siang itu ada beberapa orang
yang datang membawa makanan, nasi bungkus. Nasi bungkus itu dibagikan
kepada para pendemo. Tukang becak, pengemis, dan pemulung yang ada di
sana dikasih juga, bu.
Beberapa hari ini bapak mendekati demonstrasi dan ketika pembagian nasi,
bapak juga dapat bagian. Bapak tidak tahu siapa yang mengirim nasi
bungkus itu. Bapak cuma tahu pak presiden ingin menaikkan harga BBM.
Bagi bapak, nasi bungkus ini karena niat presiden, nasi ini dari
presiden.
Seketika aku tergagap. Aku terdiam berjuta bahasa. Presiden memang baik
hati. Presiden memang memberi nasi bungkus kepada bapak tua itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.