Posted on 9 Oktober 2013 by nameknamuk
Oleh
: Namek – Namuk | Bagian 1
Publik
di Merauke, secara khusus kaum pribumi Papua Selatan, mulai resah dengan
kehadiran spesies baru makhluk amphibi berkelamin ganda yang beracun, yang
diketahui bernama Romba, sebuah nama yang diberikan secara spontan. Sesuai
jenisnya, dia bisa dengan leluasa hidup di dua alam : darat dan air, dan dengan
racun, keanehan bentuk fisik dan tingkah laku yang dimilikinya, telah
menjadi ancaman serius bagi masyarakat selama 2 tahun terakhir.
Bagi
mereka yang belum mengenal Romba dan baru mendengar namanya, kemunculan spesies
baru ini dianggap akan menjadi pelengkap julukan Tanah Papua sebagai surga bumi
yang eksotik dengan segudang binatang endemik, dimana para ahli dipastikan akan
berlomba-lomba melakukan penelitian dan menjaga serta melindungi kelestarian
populasinya melalui sebuah produk regulasi resmi dan proyek ilmu pengetahuan
berbiaya tinggi.
Sebaliknya,
mereka yang tahu persis seperti apa spesies makhluk amphibi bernama Romba, akan
terus memaki dirinya dan mengutuk bentuk fisik dan tingkah lakunya yang buruk
serta berusaha menyelamatkan diri dari racunnya yang mematikan.
Dialah
Romba, Romanus Mbaraka, laki-laki keturunan suku Key yang secara licik
menampilkan dirinya sebagai Orang Asli Papua dari suku Marind Anim dan berhasil
merebut kursi Bupati Merauke periode 2010-2015 tanpa hambatan yang berarti.
Romanus
Mbaraka secara sadar dan sistematis berhasil menampilkan dirinya seperti
binatang amphibi sejati. Pria bermuka dua ini di satu sisi bebas hidup sebagai
Orang Marind Anim, memeluk adat suku ini dan mengaku sebagai anak Marind Anim
di hadapan komunitas Marind Anim dalam setiap kesempatan. Disisi lain, dia juga
menampilkan dirinya sebagai Orang Key sesuai garis keturunan ayah biologisnya.
Darah
Key yang mengalir dalam tubuhnya mengharuskan dia untuk menggunakan posisinya
sebagai Bupati Merauke untuk melindungi dan mengamankan semua kepentingan suku
Key, sebuah suku asal Kepulauan Maluku yang didatangkan dan ditanam
pemerintah kolonial Belanda dengan dukungan Misi Gereja Katolik dan Protestan
di Kabupaten Merauke. Mulai dari jabatan-jabatan penting dalam birokrasi pemerintahan,
lapangan akademis, LSM, pembagian proyek di setiap SKPD, Yayasan, Partai
Politik pendukungnya sampai Kepolisian, semua dimanfaatkan secara baik untuk
memperkuat posisi suku Key di Merauke.
Tindakan
Romanus Mbaraka dalam membela kepentingan suku Key jelas bertolak-belakang
dengan perjalanan hidupnya sebagai seorang anak lak-laki yang lahir dari rahim
seorang perempuan Papua. Dia dibesarkan dalam komunitas ibunya dan disekolahkan
tanpa bantuan biaya sepeser pun dari keluarga Key lantaran statusnya yang
dianggap sebagai anak haram.
Dia
baru mengaku berdarah Key, mengunjungi saudara-saudari biologisnya dari garis
ayah, mengundang Pemda Kabupaten Maluku Tenggara hadir dalam setiap acara di
Merauke sebagai tamu spesial dan membela kepentingan suku Key secara ekstrim
setelah dia berhasil merebut kursi Bupati Merauke, sebuah posisi yang ekslusif
diperuntukkan bagi Orang Asli Papua sesuai amanat Otonomi Khusus.
John
Tabo dari Papua Selatan
John
Tabo, mantan Bupati Kabupaten Tolikara, adalah anak yang lahir dari seorang
perempuan suku Dani. Ibunya adalah seorang gadis bisu, mengandung dari
tentara, seorang laki-laki tidak bertanggungjawab asal suku Toraja dan
melahirkan anak laki-laki, itulah dia, John. Dia dibaptis dengan nama John
Tabo, dimana Tabo adalah marga ibu kandungnya.
John
Tabo dibesarkan dalam tradisi suku Dani yang sangat kental. Dia fasih berbahasa
Dani, memahami adat Dani dan seluk-beluknya, mengenal baik kampung halaman dan
basis Honai atau Kunume-nya, selalu menangis dan bagi-bagi uang
ke masyarakat dan selalu ber-Lendawe, ratapan khas suku Dani saat
digelar ritual duka.
John
Tabo mulai dikenal sebagai sosok makhluk amphibi di kawasan Pegunungan Tengah
Papua ketika dirinya berhasil merebut kursi Bupati Tolikara. Dia mengambil
inisiatif mencari ayah biologisnya sampai ketemu. Dia berhasil menemukan
saudara-saudari biologisnya dari garis ayah, membangun rumah mewah bagi mereka,
mengunjungi kampung halamannya di Tana Toraja, membangun Tongkonan
(Rumah Adat) di sana, menyembelih Tedong Saleko (spesies kerbau
termahal) dalam jumlah besar di Tana Toraja dan menjadikan Kabupaten Tolikara
sebagai basis bagi suku Toraja. Semua ini dilakukan sebagai wujud baktinya
kepada suku Toraja dari mana 50% darahnya berasal dan 100% menggunakan dana
yang bersumber dari APBD Kabupaten Tolikara.
Selama
menjabat Bupati, dia lebih mementingkan Orang Toraja daripada Orang Dani.
Sebanyak 9 dari 12 SKPD Kabupaten Tolikara dikuasai oleh Orang Toraja, mulai
dari Kepala Dinas sampai PNS dan Tenaga Honorer. Proyek bernilai Milyaran
Rupiah yang dananya bersumber dari APBD Kabupaten dan Provinsi maupun APBN
semua jatuh ke tangan Kontraktor Asal Toraja, diantaranya ke tangan Samuel
Kadang, seorang kontraktor kaya asal Toraja yang berbasis di Merauke. Semua ini
dilakukan John Tabo secara sadar dan sistematis dengan mengabaikan semangat
Papuanisasi di berbagai sektor di Papua.
Sampai
saat ini, walaupun Kabupaten Tolikara yang beribukota di Karubaga itu telah
dipimpin oleh anak asli Suku Dani, Orang Toraja masih tetap menikmati hak-hak istimewa
di hampir semua sektor, karena basis mereka telah berakar kuat secara sempurna
berkat strategi jitu yang ditempuh dan diterapkan selama kepemimpinan John
Tabo.
Gereja,
kekristenan, nyaman hidup di daerah Pegunungan dan kebiasaan mengkonsumsi
daging babi adalah sarana yang digunakan sebagai senjata ideologis untuk tujuan
mengelabui masyarakat Dani demi menegakkan dominasi Toraja. Dominasi Toraja
yang sukses mengambilalih hak kesulungan Orang Dani menyebabkan kata TOLIKARA,
oleh masyarakat setempat, diplesetkan menjadi TOraja LIngkar KARubagA. (Bersambung
ke Bagian 2)
taken from http://nameknamuk.wordpress.com